Warung Kopi menjadi hal terdekat bagi kalangan mahasiswa. Tempat
yang satu ini sangat multi fungsi di berbagai kalangan, khususnya mahasiswa.
Tempat yang dijadikan sarana untuk mengerjakan tugas kuliah sehari – hari,
sekedar nongky (nongkrong
santuy) sampai dengan persinggahan dikala tarikan bulanan kos mulai memasuki injury
time.
Dapat dibayangkan bagaimana ramai nya para pedagang kopi dari
yang beralaskan tikar lusuh dipinggiran jalan raya, hingga desaign yang
terkesan mewah, semua itu menjadi ketertarikan tersendiri bagi yang ingin
menikmati secangkir kopi, tentunya sesuai budget kantong pembelinya.Fenomena
ramainya tempat nongkrong/warung kopi apalagi ditambah beberapa fasilitas
mendukung seperti wifi yang super kencang, menjadi magnet tersendiri demi
menarik para pelanggan. Terlebih jika terletak sekitaran perguruan tinggi, sudah
menjadi satu paket lengkap (kopi, wifi dan colokan listrik).
Gambaran di atas menunjukan adanya suatu relasi antara mahasiswa
dan warung kopi tidak dapat terpisahkan. Namun tidak dapat dipungkiri kondisi
ini melahirkan sebuah keniscayaan tentang apa yang terjadi hari ini. Bagaimana
tidak dalam 4 tahun terakhir terhitung sejak penulis mulai menginjak dunia
perwarung kopian telah mengalami pergeseran jika dilihat dari adanya eksistensi
mahasiswa di warung – warung kopi yang tersedia.
Apa yang bergeser ? Disamping fungsi daripada warung kopi
sebagaimana penulis sebutkan di atas salah satu mengandung hal postif ialah
lahirnya forum – forum diskusi dan semacamnya. Yang kemudian selanjutnya
penulis sebut dengan forum akademik alternatif yang egaliter dan terkesan santuy,
bukan semacam kegiatan di kelas yang terlihat sepaneng nan membosankan. Tidak
sedikit juga mendatangkan sekaliber tokoh dan beberapa pakar untuk ikut mengisi
dalam forum tersebut.
Namun apakah hal tersebut masih dapat dilihat hari ini? Jawabannya
tentunya dapat dibilang minim atau bahkan hilang. Waktu 4 tahun ke belakang
sesungguhnya belum dapat dikatakan waktu yang lama. Namun realitasnya tidak
begitu. Iklim akademik dan gairah intelektualitas mahasiswa dipandang dari
kacamata warung kopi saja makin hari makin terkikis.
Penulis tidak ingin memberikan kesimpulan awal jikakalau dilihat
dari kacamata kecil sudut warung kopi saja, keseharian mahasiswa yang mulai
sepi dari aktifitas intelektual apalagi semacam agenda akademik formal lainnya
semacam seminar, short course bahkan perkuliahan yang menjadi tugas sehari –
hari juga sepi peminat dan hanya menjadi formalitas. Hal ini perlu direnungkan
sebagai keresahan bersama melihat generasi hari ini dengan realitas semacama
itu.
Agaknya mahasiswa hari ini lebih menikmati ruangan yang nyaman
berAC dengan kursi empuk sambil mendengarkan apa yang disabdakan oleh dosen,
alih – alih mau mengkritisi dan berdebat namun sepertinya tidak tidur pun sudah
menjadi nilai plus dari aktifitas di kelas. Adagium revolusi dari secangkir
kopi akan hanya menjadi romantisme sejarah masa lalu di kalangan siswa yang
maha itu.
Generasi hari ini memperlihatkan fenomena yang semakin
memperluas jurang perbedaan dengan anak – anak yang lahir era 90 an. Contoh
kecilnya, dapat disaksikan seumuran siswa sekolah dasar telah lihai dalam
bermain gawai, alih generasi yang lahir era 90an yang asik bermain permainan
tradisional semisal; gundu, engklak, gobak sodor dsb, hari ini telah kehilangan
panggunggnya. Dari sinilah akan semakin memperparah generasi penerus bangsa
jika dari kecil saja telah terdapat indikasi tersebut.
Barangkali menjadi suatu keanehan jika terlihat tak menggenggam
gawai di tempat – tempat umum. Sayangnya perkembangan teknologi yang kian
melejit dan mampu diterima di berbagai kalangan sekarang belum banyak
menghadirkan dampak positif. Candu dari hadirnya teknologi yang maju lebih
mendominasi daripada dampak positif oleh penggunannya. Hal itupun juga dialami
mahasiswa yang seharusnya menjadi patron generasi muda terpelajar. Namun, duduk
melingkar lalu mabar menjadi sebuah panggung baru di tengah problematika sosial
yang seharusnya lebih diperhatikan oleh julukan siswa yang maha itu.
Lingkar – lingkar forum diskusi mulai sepi peminat. Lelah
seharian yang dijalani dengan berbagai tugas dari dosen menjadi alasan untuk
kemudian mengembangkan keilmuan yang seharusnya didapat di luar kelas. Akhirnya
sepadan lah jika forum – forum keilmuan mulai terkikis dan membuat batu
loncatan bagi mahasiswa untuk mengurai kelelahan nya seharian.
Padahal disadari atau tidak gagasan – gagasan dengan berbagai sudut
pandang dan komprehensif lebih kaya secara akan didapatkan di forum – forum
yang sering diikuti. Namun teknologi telah melenakan. Mereka dimanjakan, mental
tak lagi mental pejuang dengan mampu memforsir seluruh kegiatannya dengan hal –
hal bermanfaat demi memupuk gagasan serta nalar sehat sehingga tidak gagap
dalam melihat problematika yang terjadi di masyarakat.
Meski fenomena yang penulis paparkan di atas tidak bisa digeneralisasikan
namun perlunya mendapat untuk dijadikan semacam manuver revolusi sosial
generasi muda demi mengembalikan gairah intelektual di kalangan mahasiswa hari
ini. Perlunya memupuk kekayaan intelektual untuk ikut andil dalam perubahan
sosial tak bisa dimulai dari aktifitas remeh. Bagi sebagian yang turut
merasakan hal ini perlu rasa empati lebih dalam mengembalikan gairah
intelektualitas yang perlu terus dirawat. Untuk mengatasi kegalauan bersama
yang dirasakan. Sepertinya revolusi dari secangkir kopi menjadi penting untuk
didengungkan kembali agar tidak sebatas menjadi jargon yang berlalu lalang
tanpa hadirnya perubahan yang nyata.
Artikel ini pernah dimuat di gubuktulis.com